Ana Chat

Wednesday, October 14, 2009

Realita Aceh ‘Mengubur’ Mimpi

‘Realita Aceh Mengejar Mimpi”, tulisan Ir.Yusyak (Serambi, 1 Agustus 2009) lalu, menarik ditelaahm terutama untuk mengoreksi beberapa estimasinya. Secara keseluruhan opininya, begitu kental nuansa dan kepentingan ke-Acehan. Ini memang sangat diidamkan segenap rakyat. Hanya ketika fakta saat ini, begitu jauh jarak dan jurang dengan idealitanya.

Bila disimak lebih intens, opini beliau hampir tak ada gagasan membangun Aceh yang merujuk pada prinsip dasar Islam. Kecuali terlihat hanya mengikuti unsur fanatisme golongan (ta’asshub qaumiyah). Ini justru dilarang dalam ajaran Islam. Padahal, nuansa ke-Acehan hanya bisa dibanggakan dan diagungkan tatkala nilai-nilai Islam yang universal sudah melekat erat dalam semua sendi kehidupan umat ( rakyat )Aceh. Dan apa yang kita saksikan nilai-nilai tersebut nyaris tidak ada, bahkan dalam prilaku masyarakat jauh menyimpang dari ajaran agama.

Berpikir tendensius, bukan watak untuk membangun Aceh dalam kacamata Islam. Misal, beliau menyebut tentang PNS (pegawai negeri sipil) yang menganggap suatu “penyakit” yang diidap yang disebut bekerja hanya untuk pusat semata. Pemahaman ini mungkin mewakili sebagian besar komponen masyarakat Aceh/mantan kombatan yang lain yang cenderung menebar permusuhan. Selayaknya, sebagai aktifis yang mengklaim berjuang untuk mewujudkan perubahan dan kesejahteraan rakyat, maka haruslah memahami betul kaidah-kaidah dan syarat-syarat perjuangan itu sendiri; bagaimana urgennya memberikan rasa kebahagiaan dan ketentraman bagi rakyat yang diperjuangkan. Bukan sebaliknya justrun berfikir anarkis, dan terkesan memaksanakan kehendak dalam merubah paradigma berpikir masyarakat itu.

Sudah cukup rakyat Aceh terhimpit atas keadaan selama ini. Sekarang rakyat Aceh menghendaki kebahagiaan, kesejahteraan dan kenyamanan dalam hidup. Karenanya, kita harus melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan mereka, bukan justru menimpahkan kesalahan atas rakyat. Agaknya, para pemegang kuasa sekarang ini, harus banyak membuka sejarah. Dan saya teringat kemenangan HAMAS di Palestina dan Partai AKP pimpinan Erdogan di Turki beberapa tahun yang lalu. Dari semua informasi yang saya dapatkan, kemenangan kedua partai ini di negeranya masing-masing tidaklah diraih secara kebetulan, tapi meraka telah berbuat untuk rakyat sekian lama sehingga rakyat benar-benar menjatuhkan pilihannya kepada wakil-wakil mereka di kedua partai ini dengan dukungan yang berasal dari hati nurani dan tanpa paksaan sedikutpun.

Para pejuang di dua Negara itu, masuk di semua lini kehidupan rakyatnya, mengayomi dan membantu rakyat, menata pendidikan dan ekonomi rakyat. Iktikad baik ini yang kemudian dibayar rakyat dengan menjatuhkan pilihan, bukan atas pemaksaan kehendak. Rakyat menjadi jatuh hati. Karenanya, kita sangat menyayangkan adanya

ungkapan seperti, ‘meunyoe nanggroe ka droe teuh ato maka mandum akan mudah’. Sebab yang terpenting sebenarnya bagaimana kita berbuat dengan itikad baik dan bisa dibuktikan secara nyata. Apalagi ungkapan-ungkapan seperti itu akan menghadirkan keterlenaan yang mengakibatkan ketidak siapan untuk ‘ato nanggroe’. Faktanya saat ini hampir semua jabatan eksekutif dipegang oleh mantan kombatan GAM, artinya apa yang dicita-cita kan telah tercapai, tapi realitasnya belum ada perubahan berarti yang telah dihadirkan. Bahkan, saat ini hampir semua aspek kehidupan rakyat Aceh telah dikendalikan oleh mantan kombatan GAM. Misal, proyek-proyek pembangunan fisik maupun non fisik saat ini hampir semua mereka kuasai, ini adalah fakta. Kalau memang ingin membangun kenapa kesempatan itu tidak pernah digunakan dengan semaksimal mungkin? Bahkan realitas yang sering terjadi selama ini adalah pengkhianatan terhadap hak-hak rakyat, pengekangan hak azasi rakyat untuk hidup dalam ketenangan dan kesejahteraan. Misalnya seperti kasus pencurian uang rakyat Aceh Utara beberapa waktu yang lalu, padahal rakyat di kabupaten ini masih begitu menderita karena hidup dalam kemiskinan dan kenestapaan.

Memang fakta sejarah tentang kebesaran, masyhur dan makmurnya Aceh di masa yang lalu. Namun ini kemudian telah melenakan karena perasaan dan kesadaran kuno yang keliru. Sehingga kebanggaan kita sebagai orang Aceh telah membuat kita melupakan banyak faktor yang menjadi sebab kejayaan Aceh di masa lalu dan juga berbagai sebab mundurnya kebesaran tersebut. Hal ini mengakibatkan kesalahan fatal ketika kita mencoba menyusun konsep penataan pembangunan Aceh ke depan agar marwahnya kembali seperti masa lalu. Juga menjadi sebab lupanya kita dengan berbagai tugas dan tanggung jawab yang ada di pundak kita.

Orang yang cerdas adalah mereka yang bisa mengambil pelajaran terhadap semua peristiwa masa lalu dan menjadikannya sebagai tolak ukur dan landasan dalam membangun masa depan. Aceh pada masa lampau pernah mencapai puncak masa kejayaan semasa pemerintahan Sultan Iskandar Muda yang membangun dan mengatur Aceh dengan sistem Islam yang universal. Nilai-nilai Islam pada masa itu bukan terletak dalam sebuah maket ataupun menjadi lips service para penguasa semata, tapi memang benar-benar menjelma dalam semua sektor kehidupan dan dalam semua elemen berbagai komponen bangsa Aceh ketika itu. Nilai-nilai Islam dijelmakan oleh para pembesar sampai rakyat kecil sekalipun

Nah, jika kita mendambakan Aceh kembali ke masa keemasan seperti masa lalu maka semua konsep yang melatar belakangi kejayaan masa lalu harus direvitalisasi kembali, hal ini juga sesuai dengan apa yang dicita-citakan oleh para endatu kita dahulu. Jika mantan kombatan GAM yang sekarang telah besar dalam wadah Partai Aceh (PA) bercita-cita mengembalikan marwah dan kejayaan Aceh seperti masa lalu maka kembali ke konsep masa lalu secara totalitas adalah keniscayaan.

Tulisan ini saya maksudkan untuk menjadi masukan sekaligus renungan agar semua kita mau introspeksi diri, terutama para mantan kombatan GAM yang selama ini mengklaim berjuang untuk rakyatm dan telah meraih kekuasaan baik di eksikutif maupun legislative Aceh. Artinya, kepercayaan yang telah diberikan oleh rakyat harus mampu dibuktikan dalam sikap dan prilaku jika ingin mimpi Aceh yang berjaya dapat diraih kembali. Jangan sebaliknya realita rakyat Aceh sekarang justru sedang mengubur mimpinya kembali. Wallahu a’lam bisshawab.